Sejarah
Perekonomian Indonesia Sebelum Orde Baru
Tahapan
perkembangan :
- masa sebelum terjajah ( < tahun 1600 )
- masa penjajahan ( tahun 1600 – 1945 )
- masa sebelum 1966/ orde lama ( tahun 1945 – 1966 )
Era
orde lama ( 1945 – 1966 )
Pada
tanggal 17 agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun
demikian, tidak berarti dalam prakteknya indonesia sudah bebas dari belanda dan
bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga
menjelang akhir 1940-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan
belanda. Setelah akhirnya pemerintahan belanda
mengakui secara resmi kemerdekaan indonesia, selama dekade 1950-an hingga
pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan
beberapa pemberontakan di sejumlah daerah, seperti di sumatera dan sulawesi.
Akibatnya, selama pemerintahan orde lama, keadaan perekonomian indonesia sangat
buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun
hampir 7% selama decade 1950-an, dan setelah itu turun drastic menjadi
rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama
tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk
domestic bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.
Selain
laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo
neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja
pemerintahan (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun.
Selain
tu, selama periode orde lama, kegiatan paroduksi di sektor pertanian dan sektor
industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan
kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik
seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai
dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat
mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300%
menjelang akhir periode orde lama.
Dapat
disimpulkan bahwa buruknya perekonomian indonesia selama pemerintahan orde lama
terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun
nonfisik selama pendudukan jepang, perang dunia, dan perang revolusi, serta
gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah),
ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat jelek selama rezim
tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan sosial dalam negeri
ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan
baik.
Kebijakan
ekonomi paling penting yang dilakukan kabinet hatta adalah reformasi moneter
melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gukden dan pemotongan
uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan maret 1950 yang
dikeluarkan oleh de javasche bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden
indonesia. Pada masa kabinet natsir (cabinet pertama dalam negara kesatuan
republik indonesia), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan
pembangunan ekonomi, yang disebut rencana urgensi perekonomian (RUP). RUP ini
digunakan oleh cabinet berikutnya merumuskan rencana pembangunan ekonomi lima
tahun (yang pada masa orde baru dikenal dengan singkatan repelita). Pada masa
kabinet sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain
nasionalisasi de javasche bank menjadi bank indonesia (BI) dan penghapusan
sistem kurs berganda. Pada masa kabinet wilopo, langkah-langkah konkret yang
diambil untuk memulihkan perekonomian indonesia saat itu diantaranya untuk
pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN,
memperketat impor, malakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui
medernisasi dan pengurang jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran
pemerintah. Pada masa kabinet ami, hanya dua langkah konkret yang dilakukan
dalam bidang ekonomi walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan
kebijakan uang ketat. Selama kabinet burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi
penting yang dilakukan termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijkan
uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan program benteng,
mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke
indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan
pembatalan (secara sepihak) persetujuan konferensi meja bundar sebagai usaha
untuk menghilangkan sIstem ekonomi colonial atau menghapuskan dominasi
perusahaan-perusahaan belanda dalam perekonomian indonesia.
berbeda dengan cabinet-kabinet sebelumya di atas, pada masa kabinet Ali,
praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti, selain mencanangkan sebuah
rencana pembangunan baru dengan nama rencana lima tahun 1956-1960. Kurang
aktifnya cabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaan politik di
dalam negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan-tekanan dari
masyarakat daerah-daerah di luar jawa yang selama itu tidak merasa puas dengan
hasil pembangunan di tanah air. Ketidakstabilan politik di dalam negeri semakin
membesar pada masa kabinet djuanda, sehingga praktis cabinet ini juga tidak
bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi. Perhatian sepenuhnya dialihkan
selain untuk menghadapi ketidakstabilan politik di dalam negeri juga pada upaya
pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Pada masa kabinet djuanda juga
dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan belanda.
Dilihat
dari aspek politiknya selama orde lama, dapat dikatakan Indonesia pernah
mengalami sistem politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959,
sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata
menyebabkan kehancuran politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan
sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu cabinet
pemerintah yang solid dan dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada
masa politik demokrasi itu (demokrasi parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa
rata-rata umur setiap cabinet hanya satu tahun saja. Waktu yang sangat pendek
dan disertai dengan banyaknya keributan tenang bagi pemerintah yang berkuasa
untuk memikirkan bersama masalah-masalah sosial dan ekonomi yang ada pada saat
itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya.
Selama
periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman
kolonialisasi. Sector formal / modern seperti pertambangan, distribusi,
transportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar
daripada sector informal / tradisional terhadap output nasional
atau pdb didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing kebanyakan berorientasi
ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh
pengusaha asing tersebut relatif lebih padat capital dibandingkan
kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan
perusahaan-perusahaan asing tersebut beralokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.
Struktur
ekonomi seperti yang digambarkan di atas, yang boleh boeke (1954)
disebut dual socities, adalah salah satu karakteristik utama
dari ldcs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi
seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang
berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang
bersifat langsung, seperti mengeluarkan peratura-peraturan atau undang-undang,
maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat
perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara
penduduk asli dan orang-orang nonpribumi / nonlocal.
Keadaan
ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua
perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa
penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi
pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju
pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah
dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya
dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sector
pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil.
Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan belanda yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah
awal periode ‘ekonomi terpimpin’. Sistem politik dan ekonomi pada masa orde
lama, khususnya setelah ‘ekonomi terpimpin’ dicangangkan, semakin dekat dengan
haluan / pemikiran sosialis / komunis. Walaupun ideology Indonesia adalah
pancasila, pengaruh ideology komunis dan negara bekas Uni Soviet dan Cina
sangat kuat. Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya yang memilih haluan politik berbau komunis, hanya merupakan suatu
refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimprelisasi, dan antikapitalisasi
pada saat itu. Di Indonesia pada masa itu, prinsip-prinsip individualism,
persaingan bebas, dan perusahaan swasta / pribadi sangat ditentang, karena oleh
pemerintah dan masyarakat pada umumnya, prinsip-prinsip tersebut sering
dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin
sulit mendapat dari negara-negara barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun
penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan
pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana penanaman modal
asing di Indonesia berasal dari Belanda, yang sebagian besar untuk kegiatan
ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan
ekonomi yang terkait.
Selain
kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya pereknomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan
faktor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan
kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan /
keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang
sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri
untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut
pengamatan higgins (1957), sejak cabinet pertama dibentuk
setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap
stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unifikasi dan
rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas
dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya
pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi indonesia setelah perang revolusi
tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada
akhir september 1965, ketidakstabilan politik di indonesia mencapai puncaknya
dengan terjadinya kudeta yang gagal dari partai komunis indonesia (PKI). Sejak
peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di
dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia
pada masa orde lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis
(kalau tidak, dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya
perekonomian indonesia menurut undang-undang dasar 1945 pasal 33 menganut suatu
sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi
berdasarkan ideology pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada
masa pemerintahan orde baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional
cenderung memihak sistem kapitalis, seperti di amerika serikat (AS) atau
negara-negara industri maju lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka
mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa semakin
besar hingga saat ini, terutama setelah krisis ekonomi.
- Perekonomian
berkembang kurang menggembirakan : kehidupan politik tidak stabil (
pergantian kabinet )
- defisit anggaran belanja negara terus meningkat ( cetak uang baru > inflasi
– sejak 1955- )
- nasionalisasi perusahaan asing – 1951 / 1958 ( uu no 78 / 1958 tentang
investasi asing > tutupnya bursa efek jakarta > pelarian kapital )
- hilangnya pangsa pasar ( gula, karet alam dll ) dalam perdagangan internasional
( ekspor < 10% pdb > neraca pembayaran tertekan > depresiasi rupiah )
- kejanggalan sistem moneter ( bank merupakan hasil nasionalisasi termasuk BI (
de javasche bank ), BI ( 1953 ) berfungsi : (1) menstabilkan nilai mata uang
(2) mengatur sirkulasi uang (3) mengawasi dan mengembangkan perbankan dan
kredit, memasok kredit / premi kepada pemerintah sebesar 30% dari penerimaan
pemerintah – 1957/58, sistem pengendalian kurs.
Masa
peralihan ( 1966 – 1968 )
Pada
tanggal 14 dan 15 mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan
‘jual’ karena mereka para investor asing tidak percaya lagi terhadap prospek
perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Pemerintan Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar
15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.
Apa
yang terjadi di thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara asia
lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar pada bulan juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai rupiah dalam dolar mulai tertekan
terus dan pada tanggal 13 agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah, yakni Rp
2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun
1998, antara bulan januaru-februari sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS dan
pada bulan maret nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar as.
Nilai
tukar rupiah terus melemah, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah
konkret, antaranya menunda proyek-proyek senilai rp 39 triliun dalam upaya
mengimbangi keterbatasan anggaran belanja. Pada tanggal 8 oktober 1997,
pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan
keuangan dari IMF.
Pada
oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan
keuangan pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Pemerintah juga
mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat
sehinnga hal itu menjadi awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.
Krisis
rupiah yang akhirnya menjelma menjadi krisis ekonomi memunculkan suatu krisis
politik. Pada awalnya, pemerintahan yang dipimpin presiden Soeharto akhirnya
digantikan oleh wakilnya, yakni B.J. Habibie. Walaupun, Soeharto sudah turun
dari jabatannya tetap saja tidak terjadi perubahan-perubahan nyata karena masih
adanya korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga pada masa presiden Habibie
masyarakat menyebutnya pemerintahan transisi.